DEPOSTBALI,- (Beda lagi bila yang membuka boneka ini satu garis weton dengan Dela, yaitu kita. Bisa membunuh, bisa meringankan beban untuk Dela. Aku yakin, bonekanya gak hanya satu, bisa tiga sampai sepuluh. Aku tidak tahu tapi Erna sudah menjadi salah satu korban bonekanya, berarti hanya tinggal kita).
“Goblok’ku, aku ra ngerti Erna bakal mbanting bonekane, boneka sing wes dadi ganti sukamne deem nek bonekane rusak, sing mbukak ikatan kui, nompo akibat perbuatane (Bodohnya aku, aku tidak mengerti kalau akhirnya Erna malah mbanting bonekanya, yang sudah jadi pengganti penerimaan santet itu, jadi bila boneka itu ikut rusak, dia juga akan menuntut balas akibat perbuatannya).”
Dini yang mendengar itu, hanya diam dengan wajah yang kebingungan.
Keesokan harinya, mobil Sugik datang. Sri dan Dini sudah menunggu kedatangan mereka dari tadi. Mbah Tamin yang pertama keluar, lalu diikuti Sugik yang sedang menggendong Dela dipunggungnya. Tampaknya, Mbah Tamin dan Sugik sudah tahu semuanya.
Satu yang mereka tidak ketahui adalah, Erna sudah meninggal. Melihat hal itu, wajah Mbah Tamin merah padam, ia tidak berbicara banyak. Hanya mengatakan bahwa mereka harus membawa Erna pulang, kematian Erna diluar perkiraan mbah Tamin.
Namun, ketika Sri ingin bertanya lebih jauh tentang ini, Mbah Tamin menatapnya dingin. “Tutupan ae lambemu, bayi ra eroh opo-opo ae, gegabah temen (Tutup saja mulutmu, dasar bayi, tidak tahu apa-apa, seenaknya sendiri ambil resiko).”
Baca juga: Wisata Pantai Nunggalan Bali, Kombinasi Keindahan Antara Tebing Kerang dan Pasir Putih
Itu adalah kali terakhir Sri keluar dari hutan itu. Tidak ada percakapan apapun selama di mobil, mereka menuju kediaman Mbah Krasa. Sri dan Dini duduk di luar rumah. Di dalam, ia melihatnya Mbah Krasa tampak berbicara serius dengan Mbah Tamin. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun Sri tidak tahu lagi harus apa, ia hanya ingin pamit saja. Namun, siapkah ia dengan konsekuensinya bila ia memilih untuk pamit?
Sama seperti Sri, Dini juga memiliki perasaan yang sama. Bila pekerjaan dengan gaji besar itu memiliki resiko diluar nalar seperti ini, tidak akan ada orang waras yang mau menerimanya.
Setelah menunggu lama, Sri dan Dini dipanggil untuk menghadapp Mbah Krasa. Sri dan Dini melangkah masuk. Mereka dipersilahkan duduk, memandang wanita yang selalu saja membuat Sri merasa segan setiap melihat matanya. “Aku melok sedih ambek nashi kancamu ndok (Saya ikut bersedih mendengar nasib temanmu).”
“Tapi, aku wes jamin keluargane, bakal oleh kewajibane- sing pantes diterimo (Tapi, saya sudah menjamin keluarganya akan dapat semua kewajiban yang memang patas mereka dapatkan).”
“Sak iki, opo sing kepingin mok omongno nang ngarepku (Sekarang, katakan apa yang ingin kamu bicarakan sama saya).”
“Kulo bade mundur mbah (saya mau mundur).” Mbah Krasa memandang Sri, cukup lama, ada jeda keheningan diantara mereka. Suasana itu sama sekali tidak mengenakan bagi Sri dan Dini. Sebelum Mbah Krasa tersenyum, “Boleh (bisa).”
“Tapi, aku ra jamin nyowomu ndok (Tapi, aku tidak mau menjamin nyawamu ya).”* (Bersumber dari Twitter @simplem81378523 / PARISAINI R ZIDANIA)
Baca juga: Zaman Penjajahan Jepang, Sejarah Romusha Bagian 1