DEPOSTBALI,- Alquran adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril as. Sejarah penurunannya selama kurang lebih 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung berbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Alquran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluaskan ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibâr serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.
Setiap Nabi menerima wahyu, maka Nabi saw. menghapalnya sebelum disampaikan kepada para sahabat, karena Nabi saw. adalah tuannya para penghapal, dan pengumpul yang paling pertama.[1] Hanya saja, penghapalan Alquran pada masa Nabi saw.
sangat ditekankan, karena para sahabat memiliki kekuatan hapalan yang sangat luar biasa. Sementara penulisannya tidak terlalu ditekankan karena masih terbatasnya alat-alat tulis. Di samping itu Alquran diturunkan secara munajjaman (berangsur-angsur)[2] dan tentunya setiap ada ayat yang turun, para sahabat tidak selamanya membawa bekal berupa alat tulis menulis.
Baca juga: Sinopsis Perfect Strangers Versi Indonesia yang Diadaptasi di 23 Negara
Pengumpulan dan penyusunan Alquran dalam bentuk seperti sekarang ini, terjadi bukan hanya dalam satu masa, akan tetapi berlangsung selama beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan berbagai kelompok.[3] Mushaf Alquran yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui.
Pemerintahan Utsman bin Affan Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mahabits fi ‘Ulum Al Qur’an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).(Muf)
Baca juga: Membuat Strawberry Cheesecake, Dessert Enak Bikin Ketagihan